Saat hendak memasuki
Kampung Karo atau dalam penuturan masyarakat Karo setempat dikatakan Sigara-gara
Kuta Karo, tepat di pertigaan antara jalan besar Patumbak(Jl. Pertahanan)
yang sempat juga muncul wacana untuk mengusulkan nama Tengku Wan Epen Barus
yang merupakan Raja Urung penguasa daerah itu(Patumbak bekas ibu kota negeri
Urung Senembah) dengan jalan menuju Kampung Karo, kita akan disambut oleh
sebuah bangunan tua yang cukup megah di zamannya, yang pastilah kita akan
berfikir itu adalah bekas kediaman petinggi Belanda atau setidaknya pegawai
perkebunan Belanda.
Masyarakat setempat
menyebut bagunan tua bercatkan putih itu dengan sebutan sapo(rumah)
mbelin(rumah besar, istana). Memang bangunan itu merupakan rumah kediaman
dari Raja Urung Senembah – Barus Mergana, yang dulunya penguasa dari Patumbak
dan seluruh wilayah yang dulunya masuk dalam negeri(kerajaan) Urung
Senembah. Bahkan, hingga sampai saat ini beberapa anggota keluarga
dari raja urung masih mendiami bangunan tua bergaya art-deco tersebut.
Jika kita masuk melalui
Jalan Besar Patumbak(Jl. Pertahanan) disaat pagi hari dimana matahari mulai
beranjak, maka kita seakan berjalan menuju matahari. Karena memang untuk menuju
Kampung Karo dari pertigaan Jalan Besar Patumbak kita akan menghadap ke arah
Timur. Sedangkan bangunan di sepanjang badan jalan Kampung Karo dari sisi kanan
badan jalan(melalui Jalan Besar Patumbak) mengahadap ke arah selatan dengan
menyampingi Timur dan Barat, dan tentunya bangunan di sisi kiri
jalan pastilah menghadap ke Utara.
Sekitar ± 300 merter dari
pertigaan, kita akan menjumpai pertigaan jalan lagi di sebelah kanan sisi jalan
arah Selatan yang dalam penuturan masyarakat setempat disebut Kuta Mbaru(Kuta
Baru) atau Jalan SMP karena diujung jalan lurus Kuta Baru ini akan diakhiri
pertigaan lagi dan tepat di depan jalan lurus Kuta Baru ini berdiri bangunan
SLTP(dulu SMP) Negeri I Patumbak.
Tepat dimulai dari
pertigaan jalan ke Kuta Baru menuju arah Timur ke Kampung Karo, berdiri
Perumahan Griya Prima Patumbak di kedua belah sisi jalan sepanjang ± 100 meter
dan sekitar 50 meter dari pertigaan itu kita akan menjumpai Gereja Methodis
Kyung Yie di sisi kiri dan sebuah Mesjid di sisi kanan jalan yang letaknya
tepat di ujung komplek perumahan tersebut.
Meninggalkan Perumahan
Griya Prima Patumbak, kita disambut perjumaan(perladangan) dan persabahen(persawahan)
di kedua belah sisi jalan sepanjang ± 100 meter. Dan di ujung
persawahan itu ada persimpangan kecil di arah kiri yang dalam penuturan
masyarakat setempat disebut pendawan atau jalan
kenangen yang adalah merupakan komplek pendonen(pemakaman)
bagi masyarakat Karo. Dari simpang pendawan jalan agak menanjak dan di
puncaknya sebelah kiri sisi jalan kita akan disambut sebuah bangunan yang cukup
megah, yakni Greja Katolik St. Theresia dan sekitar 50 meter dari situ kita
juga akan menemukan jalan menanjak dimana di puncaknya sebelah kanan sisi jalan
kita akan disambut oleh bangunan Greja GBKP – Patumbak yang halamannya cukup
luas ditumbuhi rumput hijau. GBKP – Patumbak ini merupakan gereja pertama yang
berdiri di Kecamatan Patumbak sekitar tahun 1958. Dari simpang pendawan hingga
± 1 km ke Timur di kedua sisi jalan dipenuhi rumah-rumah masyarakat yang sudah
berlapis hingga ke gang-gang kecil.
Sampai tahun 1999, Kampung
Karo – Patumbak yang dipanteki(dibuka, didirikan, atau pertama kali
dihuni) oleh Tala Barus dan sangkep nggeluhna(keluarga) dihuni mayoritas
masyarakat etnis Karo dan beberapa dari etnis Simalungun dan Jawa, namun kedua
etnis ini juga telah berbaur dan bahkan telah fasih dengan cakap(bahasa) Karo dan
adat Karo, bahkan sudah menggunakan identitas Karo, dengan menggunakan merga
Karo(Merga Silima) dibelakang namanya yang tampak pada KTP-nya.
Sejak tahun 1997 jalan
Kampung Karo yang semula buntu mulai dirintis untuk tembus ke Kecamatan
Tanjungmerawa. Awalnya hanya sampai di ujung perjuman antara masyarakat Kampung
Karo dan masyarakat Ujung Serdang, Kecamatan Tanjungmerawa yang dibatasi oleh
sebuah anak sungai yang dalam penuturan masyarakat setempat disebut Lau
Batangkuis, dan inilah ujung jalan yang hingga sekitar tahun 2010 baru dibangunkan
jembatan yang menandai tersambungnya jalan Kampung Karo – Patumbak dengan jalan
Ujung Serdang – Tanjungmerawa.
Mulai tahun 1999
berdatangan pendatang etnis Toba yang sebagian besar mereka merupakan korban
gusuran dari daerah Mandala, Medan. Sehingga ujung dari Kampung Karo yang
dulunya perladangan kini sudah dipenuhi permukiman warga.
Kampung Karo – Patumbak
menyimpan banyak kenangan bagi saya yang dibesarkan di bagian dari Desa
Sigara-gara itu, dan mungkin bagi masyarakat sekitarnya. Mengapa saya katakan
demikian? Mungkin orang yang mengenal Kampung Karo atau Sigara-gara Kuta Karo
akan merasa sedikit risih jika bertemu dengan pemuda di kampung itu. Mengapa
tidak! Karena sejak dahulu, Kampung Karo ini di-cap sebagai kampung yang
angker, seram, menakutkan, kejam, dan masih banyak penilaian negatif lainnya.
Cerita orangtua saya.
Dahulu saat dia dan teman-teman masih remaja, daerah Kampung Karo ini merupakan
penghasil kates dan kemiri. Dan, kates serta kemiri inilah yang kemudian
membawa mereka terjun ke pasar-pasar di Kota Medan dan Kota Siantar. Dengan
bangga ayah saya berkata ‘kates Patumbak dulu yang merajai Siantar!’ dan cerita
ini juga dapat saya dengar dari orangtua lainnya.
Kemajuan pertanian dan
ekonomi membuat masyarakat di Kampung Karo ini dapat berbicara di luar. Banyak
putra/I dari Kampung Karo ini yang disegani di luar sana, apakah sebagai
seorang pegawai negeri, pejabat, pedagang, petani berhasil, bahkan preman pasar.
Masih dalam cerita ayah
saya. ‘Dahulu waktu remaja, kami asal sudah panen kates atau kemiri pasti
nonton film di bioskom Bahagia atau pun Olympia. Bahkan tak jarang buat onar.
Tak ada yang berani sama kami, orang preman-preman dan mandor Nasional(angkot)
kami kenal semua.’
Hingga bersekolah di SLTP
Negeri I Patumbak, saya tidak jarang melihat teman sesama orang Karo yang ke
sekolah bahkan kemanapun dipinggangnya terselip tumbuk lada(belati).
Dan, jika ada masalah, tidak segan-segan menghajar atau menusuk lawanya dengan
tumbuk lada, tak pandang bulu, walau orang biasa, anggota TNI atau Polisi.
Kejadian terakhir yang saya lihat di tahun 2000 saat sahabat Sunda saya yang
baru dua bulan di Patumbak ditusuk dengan tumbuk lada dan sahabat saya yang
lainnya membalas penusuk itu dengan memukul kepalanya dengan sebuah tali
pinggang dari kulit tebal dengan kepala besi, sehingga kepala si penusuk jadi
bocor dan mengeluarkan banyak darah.
Kejadian penusukan lainnya
saya dengar terjadi di simpang Kampung Karo, dimana beberapa pemuda Kampung
Karo menghajar beberapa anggota polisi yang tidak tahu atas alasan apa.
Pengalaman saya saat
berkenalan dengan seorang yang merupakan warga dari kecamatan tetangga,
mendengar nama Kampung Karo dia langsung mengatakan kuta begu(kampung
hantu). "Tidak ada yang selamat jika masuk!”, katanya. Lalu dari orang
yang berbeda menuturkan “Enggak ah, saya ogah masuk Kampung Karo. Nanti harus
pula gendong sepeda pulang!”, katanya.
Saat bergulirnya Reformasi
di tahun 1998, masyarakat Kampung Karo dengan brutalnya membabat habis hasil
kebun kakao dan kelapa sawit milik PTPN, sehingga muncul sebutan MACO atau
singkatan dari ‘maling coklat(kakao)’ dan MASA yang merupakan singkatan dari
‘maling sawit’ ataupun NASA yang merupakan singkatan dari ‘ninja sawit’.
Kebrutalan masyarakat Kampung Karo ini, sepihak dianggap sebuah tindakan yang
berani, karena untuk menjarah aset PTPN yang notabene-nya adalah prusahaan
ber-plat merah saat itu adalah hal yang dianggap sangat berbahaya karena harus
berhadapat dengan para Satpam PTPN, preman, TNI, dan kepolisian. Dan, disisi
lain itu menjadi sebuah aib yang harus dipikul anak-anak generasi berikutnya
tak terkecuali saya.
Pernah sekali saat saya
mengikuti bimbingan belajar di Medan, saat pulang ke rumah saya ditanyai
seorang bapak, katanya: “Adek tinggal dimana?”
Jawab saya datar :
“Patumbak, Pak!”
Lalu si bapak bertanya
lagi: “Patumbak-nya dimana?”
“Sigara-gara, Kampung Karo,
pak.” Jawab saya.
Lalu si bapak berkata:
“Yang banyak MACO dan Ninja Sawit, ya?”
Dan sayapun hanya
menganggukkan kepala saya sambil tersenyum menutupi rasa malu saya karena sudah
saya lihat seisi angkot(angkutan kota) itu tertawa memandang ke arah saya.
Sebagai tambahan, Kampung Karo - Patumbak dikelilingi oleh areal perkebunan.
Dimana di sebelah Utara berbatasan dengan perkebunan kakao(coklat) dan di
Selatan berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit.
Masa-masa antara 1998
hingga tahun 2002 bisa saya katakan masa yang sangat memprihatinkan kembali
kepada generasi di Kampng Karo. Disaat uang berlimpah dari hasil penjarahan
perkebunan, kalau boleh saya gambarkan, anak sekitar kelas 1 SD saja saat itu
di saku celananya rata-rata ada mengantongi uang Rp. 50.000 – 300.000 dari
hasil penjualan coklat dan kelapa sawit. Kerisis moneter yang dialami negara
Indonesi tidak terasa oleh masyarakat Patumbak umumnya dan Kampung Karo
khususnya. Mudah rasanya bagi mereka mencari dan menghamburkan uang. Dan
pastilah memberi efek-samping bagi perkembangan generasi mudanya yang terbiasa
berlimpah materi.
Uang berlimpah, semua bisa dibeli. Pemandangan anak kecil merokok
menjadi hal biasa bagi kami. Narkoba bukan benda yang asing. Judi dimana-mana.
Kampung Karo menjadi sasaran utama bagi pedagang, walau dusun yang terisolasi.
Masa-masa suram menambah potret buram Kampung Karo. (bersambung...)
|
Peta Kampong Karo - Patumbak (oleh: Bastanta P. Sembiring) |