Sabtu, 08 Desember 2012

Kampung Karo - Patumbak (Bag. II)


Saat hendak memasuki Kampung Karo atau dalam penuturan masyarakat Karo setempat dikatakan Sigara-gara Kuta Karo, tepat di pertigaan antara jalan besar Patumbak(Jl. Pertahanan) yang sempat juga muncul wacana untuk mengusulkan nama Tengku Wan Epen Barus yang merupakan Raja Urung penguasa daerah itu(Patumbak bekas ibu kota negeri Urung Senembah) dengan jalan menuju Kampung Karo, kita akan disambut oleh sebuah bangunan tua yang cukup megah di zamannya, yang pastilah kita akan berfikir itu adalah bekas kediaman petinggi Belanda atau setidaknya pegawai perkebunan Belanda.

Masyarakat setempat menyebut bagunan tua bercatkan putih itu dengan sebutan sapo(rumah) mbelin(rumah besar, istana). Memang bangunan itu merupakan rumah kediaman dari Raja Urung Senembah – Barus Mergana, yang dulunya penguasa dari Patumbak dan seluruh wilayah yang dulunya masuk dalam negeri(kerajaan) Urung Senembah.  Bahkan, hingga sampai saat ini beberapa anggota keluarga dari raja urung masih mendiami bangunan tua bergaya art-deco tersebut.

Jika kita masuk melalui Jalan Besar Patumbak(Jl. Pertahanan) disaat pagi hari dimana matahari mulai beranjak, maka kita seakan berjalan menuju matahari. Karena memang untuk menuju Kampung Karo dari pertigaan Jalan Besar Patumbak kita akan menghadap ke arah Timur. Sedangkan bangunan di sepanjang badan jalan Kampung Karo dari sisi kanan badan jalan(melalui Jalan Besar Patumbak) mengahadap ke arah selatan dengan menyampingi  Timur dan Barat, dan tentunya bangunan di sisi kiri jalan pastilah menghadap ke Utara.

Sekitar ± 300 merter dari pertigaan, kita akan menjumpai pertigaan jalan lagi di sebelah kanan sisi jalan arah Selatan yang dalam penuturan masyarakat setempat disebut Kuta Mbaru(Kuta Baru) atau Jalan SMP karena diujung jalan lurus Kuta Baru ini akan diakhiri pertigaan lagi dan tepat di depan jalan lurus Kuta Baru ini berdiri bangunan SLTP(dulu SMP) Negeri I Patumbak.

Tepat dimulai dari pertigaan jalan ke Kuta Baru menuju arah Timur ke Kampung Karo, berdiri Perumahan Griya Prima Patumbak di kedua belah sisi jalan sepanjang ± 100 meter dan sekitar 50 meter dari pertigaan itu kita akan menjumpai Gereja Methodis Kyung Yie di sisi kiri dan sebuah Mesjid di sisi kanan jalan yang letaknya tepat di ujung komplek perumahan tersebut.

Meninggalkan Perumahan Griya Prima Patumbak, kita disambut perjumaan(perladangan) dan persabahen(persawahan) di kedua belah sisi jalan sepanjang  ± 100 meter. Dan di ujung persawahan itu ada persimpangan kecil di arah kiri yang dalam penuturan masyarakat setempat disebut pendawan atau jalan kenangen yang adalah merupakan komplek pendonen(pemakaman) bagi masyarakat Karo. Dari simpang pendawan jalan agak menanjak dan di puncaknya sebelah kiri sisi jalan kita akan disambut sebuah bangunan yang cukup megah, yakni Greja Katolik St. Theresia dan sekitar 50 meter dari situ kita juga akan menemukan jalan menanjak dimana di puncaknya sebelah kanan sisi jalan kita akan disambut oleh bangunan Greja GBKP – Patumbak yang halamannya cukup luas ditumbuhi rumput hijau. GBKP – Patumbak ini merupakan gereja pertama yang berdiri di Kecamatan Patumbak sekitar tahun 1958. Dari simpang pendawan hingga ± 1 km ke Timur di kedua sisi jalan dipenuhi rumah-rumah masyarakat yang sudah berlapis hingga ke gang-gang kecil.

Sampai tahun 1999, Kampung Karo – Patumbak yang dipanteki(dibuka, didirikan, atau pertama kali dihuni) oleh Tala Barus dan sangkep nggeluhna(keluarga) dihuni mayoritas masyarakat etnis Karo dan beberapa dari etnis Simalungun dan Jawa, namun kedua etnis ini juga telah berbaur dan bahkan telah fasih dengan cakap(bahasa) Karo dan adat Karo, bahkan sudah menggunakan identitas Karo, dengan menggunakan merga Karo(Merga Silima) dibelakang namanya yang tampak pada KTP-nya.

Sejak tahun 1997 jalan Kampung Karo yang semula buntu mulai dirintis untuk tembus ke Kecamatan Tanjungmerawa. Awalnya hanya sampai di ujung perjuman antara masyarakat Kampung Karo dan masyarakat Ujung Serdang, Kecamatan Tanjungmerawa yang dibatasi oleh sebuah anak sungai yang dalam penuturan masyarakat setempat disebut Lau Batangkuis, dan inilah ujung jalan yang hingga sekitar tahun 2010 baru dibangunkan jembatan yang menandai tersambungnya jalan Kampung Karo – Patumbak dengan jalan Ujung Serdang – Tanjungmerawa.

Mulai tahun 1999 berdatangan pendatang etnis Toba yang sebagian besar mereka merupakan korban gusuran dari daerah Mandala, Medan. Sehingga ujung dari Kampung Karo yang dulunya perladangan kini sudah dipenuhi permukiman warga.

Kampung Karo – Patumbak menyimpan banyak kenangan bagi saya yang dibesarkan di bagian dari Desa Sigara-gara itu, dan mungkin bagi masyarakat sekitarnya. Mengapa saya katakan demikian? Mungkin orang yang mengenal Kampung Karo atau Sigara-gara Kuta Karo akan merasa sedikit risih jika bertemu dengan pemuda di kampung itu. Mengapa tidak! Karena sejak dahulu, Kampung Karo ini di-cap sebagai kampung yang angker, seram, menakutkan, kejam, dan masih banyak penilaian negatif lainnya.

Cerita orangtua saya. Dahulu saat dia dan teman-teman masih remaja, daerah Kampung Karo ini merupakan penghasil kates dan kemiri. Dan, kates serta kemiri inilah yang kemudian membawa mereka terjun ke pasar-pasar di Kota Medan dan Kota Siantar. Dengan bangga ayah saya berkata ‘kates Patumbak dulu yang merajai Siantar!’ dan cerita ini juga dapat saya dengar dari orangtua lainnya.

Kemajuan pertanian dan ekonomi membuat masyarakat di Kampung Karo ini dapat berbicara di luar. Banyak putra/I dari Kampung Karo ini yang disegani di luar sana, apakah sebagai seorang pegawai negeri, pejabat, pedagang, petani berhasil, bahkan preman pasar.

Masih dalam cerita ayah saya. ‘Dahulu waktu remaja, kami asal sudah panen kates atau kemiri pasti nonton film di bioskom Bahagia atau pun Olympia. Bahkan tak jarang buat onar. Tak ada yang berani sama kami, orang preman-preman dan mandor Nasional(angkot) kami kenal semua.’

Hingga bersekolah di SLTP Negeri I Patumbak, saya tidak jarang melihat teman sesama orang Karo yang ke sekolah bahkan kemanapun dipinggangnya terselip tumbuk lada(belati). Dan, jika ada masalah, tidak segan-segan menghajar atau menusuk lawanya dengan tumbuk lada, tak pandang bulu, walau orang biasa, anggota TNI atau Polisi. Kejadian terakhir yang saya lihat di tahun 2000 saat sahabat Sunda saya yang baru dua bulan di Patumbak ditusuk dengan tumbuk lada dan sahabat saya yang lainnya membalas penusuk itu dengan memukul kepalanya dengan sebuah tali pinggang dari kulit tebal dengan kepala besi, sehingga kepala si penusuk jadi bocor dan mengeluarkan banyak darah.

Kejadian penusukan lainnya saya dengar terjadi di simpang Kampung Karo, dimana beberapa pemuda Kampung Karo menghajar beberapa anggota polisi yang tidak tahu atas alasan apa. 

Pengalaman saya saat berkenalan dengan seorang yang merupakan warga dari kecamatan tetangga, mendengar nama Kampung Karo dia langsung mengatakan kuta begu(kampung hantu). "Tidak ada yang selamat jika masuk!”, katanya. Lalu dari orang yang berbeda menuturkan “Enggak ah, saya ogah masuk Kampung Karo. Nanti harus pula gendong sepeda pulang!”, katanya.

Saat bergulirnya Reformasi di tahun 1998, masyarakat Kampung Karo dengan brutalnya membabat habis hasil kebun kakao dan kelapa sawit milik PTPN, sehingga muncul sebutan MACO atau singkatan dari ‘maling coklat(kakao)’ dan MASA yang merupakan singkatan dari ‘maling sawit’ ataupun NASA yang merupakan singkatan dari ‘ninja sawit’. Kebrutalan masyarakat Kampung Karo ini, sepihak dianggap sebuah tindakan yang berani, karena untuk menjarah aset PTPN yang notabene-nya adalah prusahaan ber-plat merah saat itu adalah hal yang dianggap sangat berbahaya karena harus berhadapat dengan para Satpam PTPN, preman, TNI, dan kepolisian. Dan, disisi lain itu menjadi sebuah aib yang harus dipikul anak-anak generasi berikutnya tak terkecuali saya.

Pernah sekali saat saya mengikuti bimbingan belajar di Medan, saat pulang ke rumah saya ditanyai seorang bapak, katanya: “Adek tinggal dimana?”

Jawab saya datar : “Patumbak, Pak!”
Lalu si bapak bertanya lagi: “Patumbak-nya dimana?”
“Sigara-gara, Kampung Karo, pak.” Jawab saya.
Lalu si bapak berkata: “Yang banyak MACO dan Ninja Sawit, ya?”

Dan sayapun hanya menganggukkan kepala saya sambil tersenyum menutupi rasa malu saya karena sudah saya lihat seisi angkot(angkutan kota) itu tertawa memandang ke arah saya. Sebagai tambahan, Kampung Karo - Patumbak dikelilingi oleh areal perkebunan. Dimana di sebelah Utara berbatasan dengan perkebunan kakao(coklat) dan di Selatan berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit.

Masa-masa antara 1998 hingga tahun 2002 bisa saya katakan masa yang sangat memprihatinkan kembali kepada generasi di Kampng Karo. Disaat uang berlimpah dari hasil penjarahan perkebunan, kalau boleh saya gambarkan, anak sekitar kelas 1 SD saja saat itu di saku celananya rata-rata ada mengantongi uang Rp. 50.000 – 300.000 dari hasil penjualan coklat dan kelapa sawit. Kerisis moneter yang dialami negara Indonesi tidak terasa oleh masyarakat Patumbak umumnya dan Kampung Karo khususnya. Mudah rasanya bagi mereka mencari dan menghamburkan uang. Dan pastilah memberi efek-samping bagi perkembangan generasi mudanya yang terbiasa berlimpah materi.

             Uang berlimpah, semua bisa dibeli. Pemandangan anak kecil merokok menjadi hal biasa bagi kami. Narkoba bukan benda yang asing. Judi dimana-mana. Kampung Karo menjadi sasaran utama bagi pedagang, walau dusun yang terisolasi. Masa-masa suram menambah potret buram Kampung Karo. (bersambung...)


Peta Kampong Karo - Patumbak (oleh: Bastanta P. Sembiring)

2 komentar:

  1. Saya Tahu, daerah ini.... tetapi saya tidak begitu tahu dengan Sapo Mbelin.... suatu saat kalau saya pulang ke Patumbak akan saya lihat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sapo Mbelin/Rumah Mbeli/Istana Raja Urung Senembah (Karo-karo Barus Mergana) terletak tepat di persimpangan(sebelah utara) ke Kampung Karo. Mejuah-juah.

      Hapus